Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan
Presiden Soeharto, masa Orde Baru diakui telah banyak mencapai kemajuan
dalam proses untuk mewujudkan cita-cita nasional
Latar belakang lahirnya orde barua. Adanya Gerakan 30 S/PKI
b. Kekosongan pimpinan Angkatan Darat
c.
Demonstrasi yang dilakukan oleh para mahasiswa, pemuda dan pelajar di
depan gedung DPR-GR yang mengajukan tun tutan (Tritura : Pembubaran PKI,
Pembersihan Kabinet Dwikora dan Turunkan harga barang )
d. Perubahan Kabinet ( Dwikora-Seratus menteri )
e. Tertembaknya mahasiswa Arif Rahman Hakim
Akhirnya
pada tanggal 11 Maret 1966 Presiden mengeluarkan Surat Perintah yang
berisi tentang pemulihan keamanan dan jaminan keamanan bagi presiden
Soekarno. Dengan berkuasanya Soeharto memegang tampuk pemerintahan
dimulailah babak baru yaitu Orde Baru.
Kesehatan
- Pada
masa Orde baru angka kematian bayi menurun dari 142 untuk setiap 1000
kelahiran hidup menjadi 63 untuk setiap 1000 kelahiran hidup. Hal
dimungkinkan makin meningkatnya pelayanan kesehatan bagi masyarakat,
Sebagai contoh adalah adanya Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan
Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) sampai di tingkat desa atau RT
Ekonomi
- Kehidapan
perekonomian pada zaman Orde Baru sudah berlalu sekitar 10 tahun yang
lalu. Tapi pembahasannya masih cukup hangat sampai sekarang. Pada saat
mulainya zaman Orde Baru, pemerintahan yang baru ini diwarisi dengan
keadaan ekonomi yang parah. Yaitu dengan utang luar negri yang banyak
sebesar 2,3-2,7 miliar, tingkat inflasi yang tinggi dan permasalah
ekonomi dan poltik yang lain. Sehingga pada permulaan pemerintahan Orde
Baru, pemerintah menempuh berbagai macam cara, seperti stabilisasi dan
rehabilitasi ekonomi, membentuk kerja sama denagn luar negri, dan
pembangunan ekonomi. Dengan berorientasikan pada usaha penyelamatan
ekonomi nasional terutama pada usaha mengendalikan tingkat inflasi,
penyelamatan keuangan Negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Dan
berharap dengan cara tersebut permasalahan yang ditinggalkan oleh Orde
Lama bisa diselesaikan.
Dan terbukti dengan cara tersebut
masalah-masalah tersebut mulai bisa di atasi dengan cepat. Itu
teraplikasi dengan pemerintah mengeluarkan beberapa program pembangunan,
yaitu PELITA (Pembangunan Lima Tahun), dan berjalan dengan lancar.
Tapi
dibalik keberhasilan pemerintah, ada juga dampak negatif dari kebijakan
yang diambi loleh pemerintah. Seperti, terjadinya otoritas, KKN,
dwifungsi ABRI/Polri,pembangunan yang tidak merata, fundamental
pembangunan ekonomi yang sangat rapuh.
Politik
- KONFIGURASI POLITIK ERA ORDE BARU
Peristiwa
yang lazim disebut Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia
(G30S/PKI) menandai pergantian orde dari Orde Lama ke Orde Baru. Pada
tanggal 1 Maret 1966 Presiden Soekarno dituntut untuk menandatangani
sebuah surat yang memerintahkan pada Jenderal Soeharto untuk mengambil
segala tindakan yang perlu untuk keselamatan negara dan melindungi
Soekarno sebagai Presiden. Surat yang kemudian dikenal dengan sebutan
Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) itu diartikan sebagai media
pemberian wewenang kepada Soeharto secara penuh.
Orde Baru
dikukuhkan dalam sebuah sidang MPRS yang berlangsung pada Juni-Juli
1966. diantara ketetapan yang dihasilkan sidang tersebut adalah
mengukuhkan Supersemar dan melarang PKI berikut ideologinya tubuh dan
berkembang di Indonesia. Menyusul PKI sebagai partai terlarang, setiap
orang yang pernah terlibat dalam aktivitas PKI ditahan. Sebagian diadili
dan dieksekusi, sebagian besar lainnya diasingkan ke pulau Buru.[8]
Pada masa Orde Baru pula pemerintahan menekankan stabilitas nasional
dalam program politiknya dan untuk mencapai stabilitas nasional terlebih
dahulu diawali dengan apa yang disebut dengan konsensus nasional. Ada
dua macam konsensus nasional, yaitu :
1. Pertama berwujud
kebulatan tekad pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan Pancasila
dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Konsensus pertama ini disebut
juga dengan konsensus utama.
2. Sedangkan konsensus kedua
adalah konsensus mengenai cara-cara melaksanakan konsensus utama.
Artinya, konsensus kedua lahir sebagai lanjutan dari konsensus utama dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Konsensus kedua lahir antara
pemerintah dan partai-partai politik dan masyarakat.
Secara umum,
elemen-elemen penting yang terlibat dalam perumusan konsensus nasional
antara lain pemerintah, TNI dan beberapa organisasi massa. Konsensus ini
kemudian dituangkan kedalam TAP MPRS No. XX/1966, sejak itu konsensus
nasional memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi seluruh rakyat
Indonesia.[9] Beberapa hasil konsensus tersebut antara lain
penyederhanaan partai politik dan keikutsertaan TNI/Polri dalam
keanggotaan MPR/DPR. Berdasarkan semangat konsensus nasional itu
pemerintah Orde Baru dapat melakukan tekanan-tekanan politik terhadap
partai politik yang memiliki basis massa luas. Terlebih kepada PNI yang
nota bene partai besar dan dinilai memiliki kedekatan dengan rezim
terdahulu. Pemerintah orde baru juga melakukan tekanan terhadap
partai-partai dengan basis massa Islam. Satu contoh ketika para tokoh
Masyumi ingin menghidupkan kembali partainya yang telah dibekukan
pemerintah Orde Lama, pemerintah memberi izin dengan dua syarat.
Pertama, tokoh-tokoh lama tidak boleh duduk dalam kepengurusan partai.
Kedua, masyumi harus mengganti nama sehingga terkesan sebagai partai
baru.[10] Pada Pemilu 1971 partai-partai politik disaring melalui
verifikasi hingga tinggal sepuluh partai politik yang dinilai memenuhi
syarat untuk menjadi peserta pemilu. Dalam pemilu kali ini didapati
Golongan Karya (Golkar) menjadi peserta pemilu. Pada mulanya Golkar
merupakan gabungan dari berbagai macam organisasi fungsional dan
kekaryaan, yang kemudian pula pada 20 Oktober 1984 mendirikan
Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Tujuannya antara
lain memberikan perlindungan kepada kelompok-kelompok fungsional dan
mengkoordinir mereka dalam front nasional. Sekber Golkar ini merupakan
organisasi besar yang dikonsolidasikan dalam kelompok-kelompok induk
organisasi seperti SOKSI, KOSGORO, MKGR dan lainnya sebagai “Political
Battle Unit “ rezim orde baru.
Pasca pemilu 1971 muncul kembali
ide-ide penyederhanaan partai yang dilandasi penilaian hal tersebut
harus dilakukan karena partai politik selalu menjadi sumber yang
mengganggu stabilitas, gagasan ini menimbulkan sikap Pro dan Kontra
karena dianggap membatasi atau mengekang aspirasi politik dan membentuk
partai-partai hanya kedalam golongan nasional, spiritual dan karya.[11]
Pada
tahun 1973 konsep penyederhanaan partai (Konsep Fusi) sudah dapat
diterima oleh partai-partai yang ada dan dikukuhkan melalui
Undang-Undang No. 3/1975 tentang Partai Politik dan Golongan, sistem
fusi ini berlangsung hingga lima kali Pemilu selama pemerintahan orde
baru (1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997).
PARTAI POLITIK
Melihat
sejarah sepanjang Orde Lama sampai Orde Baru partai politik mempunyai
peran dan posisi yang sangat penting sebagai kendaraan politik
sekelompok elite yang berkuasa, sebagai ekspresi ide, pikiran, pandangan
dan keyakinan kebebasan. Pada umumnya para ilmuwan politik
menggambarkan adanya empat fungsi partai politik, menurut Miriam
Budiardjo meliputi:
1. Sarana komunikasi politik;
2. Sosialisasi politik;
3. Sarana rekruitmen politik;
4. Pengatur konflik. [12]
Keempat
fungsi tersebut sama-sama terkait dimana partai politik berperan dalam
upaya mengartikulasikan kepentingan (Interests Articulation) dimana
berbagai ide-ide diserap dan diadvokasikan sehingga dapat mempengaruhi
materi kebijakan kenegaraan. Terkait sebagai sarana komunikasi politik,
partai politik juga berperan mensosialisasikan ide, visi dan kebijakan
strategis yang menjadi pilihan partai politik serta sebagai sarana
rekruitmen kaderisasi pemimpin Negara. Sedangkan peran sebagai pengatur
konflik, partai politik berperan menyalurkan berbagai kepentingan yang
berbeda-beda. Disamping itu, partai politik juga memiliki fungsi sebagai
pembuat kebijaksanaan, dalam arti bahwa suatu partai politik akan
berusaha untuk merebut kekuasaan secara konstitusional, sehingga setelah
mendapatkan kekuasaannya yang legitimate maka partai politik ini akan
mempunyai dan memberikan pengaruhnya dalam membuat kebijaksanaan yang
akan digunakan dalam suatu pemerintahan.[13] Dengan demikian, fungsi
partai politik secara garis besar adalah sebagai kendaraan untuk
memenuhi aspirasi warga negara dalam mewujudkan hak memilih dan hak
dipilihnya dalam kehidupan bernegara.
Selanjutnya, sejarah
kepartaian di Indonesia merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan
dari sejarah perjuangan bangsa dalam merebut kemerdekaan Indonesia. Dari
sejarah tersebut dapai dilihat bahwa keberadaan kepartaian di Indonesia
bertujuan untuk: (a) untuk menghapuskan penindasan dan pemerasan di
Indonesia khususnya dan didunia pada umumnya (kolonialisme dan
imperialisme); (b) untuk mencerdaskan bangsa Indonesia; (c) untuk
meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Untuk melaksanakan tujuan utama diatas perlu ditentukan sasaran antara, yaitu;
a. Kemerdekaan di bidang politik, ekonomi dan budaya nusa dan bangsa;
b. Pemerintahan Negara yang demokratis;
c.
Menentukan Undang-Undang Dasar Negara yang memuat
ketentuan-ketentuan dan norma-norma yang sesuai dengan nilai-nilai
sosialistis paternalistic yang agamais dan manusiawi.
Dari
perjalanan sejarah kehidupan politik Indonesia tersebut, secara umum
terdapat dua ciri utama yang mewarnai pendirian dan pergeseran
masing-masing organisasi politik dan golongan fungsional yang ada,
yaitu:
a. Kesamaan Cara untuk melaksanakan gerak kehidupan
politik, organisasi politik dan golongan fungsional, yaitu didasarkan
pada persatuan dan kesatuan yang bersumber pada kepentingan nasional dan
bermuara pada kepentingan internasional. Untuk mewujudkan hal-hal
tersebut ditempuh melalui prinsip adanya kedaulatan rakyat Indonesia.
b.
Sedangkan landasan (faham, aliran atau ideologi) yang digunakan
untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan serta kedaulatan rakyat tersebut
berbeda satu sama lain.
Kemudian, keberadaan partai
politik-partai politik ini sesungguhnya untuk meramaikan pesta demokrasi
sebagai tanda adanya atau berlangsungnya proses pemilihan umum. Dalam
proses pemilihan umum ini, setidaknya terdapat 3 (tiga) tujuan pemilihan
umum di Indonesia, antara lain: pertama, memungkinkan terjadinya
pergantian pemerintah secara damai dan tertib; kedua, kemungkinan
lembaga negara berfungsi sesuai dengan maksud UUD 1945; dan ketiga,
untuk melaksanakan hak-hak asasi warga negara. [14]
Dengan
demikian, antara partai politik dengan pemilihan umum bagaikan dua sisi
dalam mata uang yang sama. Mereka tidak dapat dipisahkan satu sama lain
dikarenakan keduanya saling bergantungan dan mengisi.
1. Partai Politik dalam Era Orde Lama
Pada
masa sesudah kemerdekaan, Indonesia menganut sistem multi partai yang
ditandai dengan hadirnya 25 partai politik. Hal ini ditandai dengan
Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat
Pemerintah tanggal 3 November 1945. Menjelang Pemilihan Umum 1955 yang
berdasarkan demokrasi liberal bahwa jumlah parpol meningkat hingga 29
parpol dan juga terdapat peserta perorangan.[15]
Pada masa
diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem kepartaian Indonesia
dilakukan penyederhanaan dengan Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres
No. 13 Tahun 1960 yang mengatur tentang pengakuan, pengawasan dan
pembubaran partai-partai.[16] Kemudian pada tanggal 14 April 1961
diumumkan hanya 10 partai yang mendapat pengakuan dari pemerintah,
antara lain adalah sebagai berikut: PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai
Katholik, PERTI MURBA dan PARTINDO. Namun, setahun sebelumnya pada
tanggal 17 Agustus 1960, PSI dan Masyumi dibubarkan.
Dengan
berkurangnya jumlah parpol dari 29 parpol menjadi 10 parpol tersebut,
hal ini tidak berarti bahwa konflik ideologi dalam masyarakat umum dan
dalam kehidupan politik dapat terkurangi. Untuk mengatasi hal ini maka
diselenggarakan pertemuan parpol di Bogor pada tanggal 12 Desember 1964
yang menghasilkan "Deklarasi Bogor." [17]
2. Partai Politik dalam Era Orde Baru
Dalam
masa Orde Baru yang ditandai dengan dibubarkannya PKI pada tanggal 12
Maret 1966 maka dimulai suatu usaha pembinaan terhadap partai-partai
politik. Pada tanggal 20 Pebruari 1968 sebagai langkah peleburan dan
penggabungan ormas-ormas Islam yang sudah ada tetapi belum tersalurkan
aspirasinya maka didirikannyalah Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI)
dengan massa pendukung dari Muhammadiyah, HMI, PII, Al Wasliyah, HSBI,
Gasbindo, PUI dan IPM.[18]
Selanjutnya pada tanggal 9 Maret 1970,
terjadi pengelompokan partai dengan terbentuknya Kelompok Demokrasi
Pembangunan yang terdiri dari PNI, Partai Katholik, Parkindo, IPKI dan
Murba. Kemudian tanggal 13 Maret 1970 terbentuk kelompok Persatuan
Pembangunan yang terdiri atas NU, PARMUSI, PSII, dan Perti. Serta ada
suatu kelompok fungsional yang dimasukkan dalam salah satu kelompok
tersendiri yang kemudian disebut Golongan Karya. Dengan adanya pembinaan
terhadap parpol-parpol dalam masa Orde Baru maka terjadilah perampingan
parpol sebagai wadah aspirasi warga masyarakat kala itu, sehingga pada
akhirnya dalam Pemilihan Umum 1977 terdapat 3 kontestan, yaitu Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) serta
satu Golongan Karya.[19]
Hingga Pemilihan Umum 1977, pada masa
ini peserta pemilu hanya terdiri sebagaimana disebutkan diatas, yakni 2
parpol dan 1 Golkar. Dan selama masa pemerintahan Orde Baru, Golkar
selalu memenangkan Pemilu. Hal ini mengingat Golkar dijadikan mesin
politik oleh penguasa saat itu.